Aji Saka dan Bangkitnya Peradaban Jawa

Sahabat Trensami Assalaam yang dirahmati Allah SWT, bangkitnya peradaban di Pulau Jawa kerap dikaitkan dengan kisah legenda Aji Saka yang kisahnya dimainkan oleh para santri Pesantren Sabtu Minggu Assalaam pada acara Tasyakuran Hari Lahir Trensami Assalaam ke 7 yang sukses digelar Sabtu, 30 September 2023
Jaya Regency Sedati
Raja Dewata Cengkar diperankan oleh Zama salah satu santri Trensami Assalaam
(c) asmoromoto


Konon, legenda tersebut menceritakan tentang kisah Aji Saka, sosok yang membuat aksara Jawa dan pencipta tarikh Tahun Saka. 
Lantas, dari mana asal Aji Saka dan bagaimana kisahnya hingga disebut sebagai tokoh yang membangkitkan peradaban di Jawa ? 

Legenda menyebut bahwa Aji Saka berasal dari negeri antah  berantah bernama Bumi Majeti. Tetapi ada pula yang menafsirkan bahwa Aji Saka adalah keturunan suku Shaka dari India. Hal ini dapat dimengerti karena memang terdapat beberapa versi terkait asal - usul ataupun kisah Aji Saka. 

Aji Saka digambarkan sebagai pemuda sakti yang mempunyai keris pusaka, sebuah sorban sakti, dan dua orang abdi setia bernama Dora dan Sembada. Selain itu, ia adalah pribadi yang suka menolong, termasuk menolong rakyat Jawa dari kekejaman penguasanya. 

Legenda Aji Saka mengisahkan tentang kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban dan keteraturan di Tanah Jawa dengan mengalahkan raksasa jahat yang sebelumnya berkuasa di pulau ini. Selain itu Aji Saka diceritakan kehilangan abdi setianya akibat sebuah kesalahpahaman, dan dari kisah tragis inilah lahir Hanacaraka. 

Aji Saka melawan Dewata Cengkar 
Dikisahkan Aji Saka melakukan pengembaraan ke Jawa untuk menyelamatkan rakyat Kerajaan Medang Kamulan dari kekejaman rajanya, Dewata Cengkar yang gemar memakan daging manusia. 

Kwangsan
Aji Saka yang diperankan oleh Zein ketika menghadapi Dewata Cengkar
(c) asmoromoto


Sebelum pergi ke Medang Kamulan, Aji Saka meninggalkan keris pusakanya di Gunung Kendeng dan meminta Sembada untuk menjaganya. Ia juga berpesan bahwa tidak ada seorang pun yang boleh mengambil pusaka itu kecuali dirinya sendiri. Setelah itu, Aji Saka membawa Dora untuk menemui Dewata Cengkar dan mengaku bahwa dirinya mau dijadikan santapan. Akan tetapi, Aji Saka mengajukan satu syarat, yakni meminta sebidang tanah yang sepanjang sorbannya. Namun, ketika Dewata Cengkar mulai mengukur tanah, sorban itu memanjang terus menerus hingga mencapai pinggir Laut Selatan. Dengan kecerdasannya, Aji Saka pun mampu menenggelamkan Dewata Cengkar ke Laut Selatan. Setelah itu, ia dinobatkan sebagai raja Medang Kamulan, sedangkan Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. 

Asal-usul aksara Jawa 
Suatu hari, Aji Saka memerintahkan Dora untuk mengambil keris pusaka yang dititipkan kepada Sembada. Namun, Sembada menolak karena sesuai perintah Aji Saka sebelumnya tidak ada yang diperbolehkan untuk membawa pusaka itu selain Aji Saka sendiri. Alhasil, dua abdi Aji Saka saling mencurigai bahwa masing-masing bermaksud untuk mencuri pusaka itu. Akhirnya, Sembada dan Dora pun bertarung untuk memertahankan tanggung jawabnya hingga tewas. 

Aji Saka
Seluruh pemeran Drama Musikal Aji Saka berpamitan kepada hadirin
(c) asmoromoto


Aji Saka menyusul ke Gunung Kendeng, ia menemukan dua abdinya telah meninggal akibat kesalahpahaman. Di depan jasad dua abdinya itu, Aji Saka menciptakan puisi yang isinya sebagai berikut. 
Hanacaraka artinya terdapat dua utusan 
Datasawala artinya mereka berbeda pendapat 
Padhajayanya artinya mereka berdua sama kuatnya 
Magabathanga artinya inilah mayat mereka 
Sehingga puisi yang diciptakan untuk mengenang dua abdi Aji Saka ini kemudian dikenal sebagai Hanacaraka atau aksara Jawa. 

Membawa peradaban ke Jawa 
Beberapa ahli sepakat bahwa legenda Aji Saka memiliki hubungan dengan penggunaan Kalender Saka. Di Jawa, Aji Saka menyebarkan perhitungan tarikh yang dinamakan tahun Saka, dimulai sejak kedatangannya yaitu tahun 1 Saka (78 Masehi). 
Seluruh pengisi acara Harlah Trensami Assalaam ke 7 bersama para pembimbing
(c) asmoromoto


Selain memperkenalkan tahun Saka, Aji Saka juga menyebarkan pengetahuan membaca dan menulis sebagai dasar pengembangan kebudayaan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa penggunaan abjad di Jawa sudah dimulai sejak 78 Masehi, meskipun belum ditemukan bukti tertulis yang mendukungnya.

(NE/061023)




Pesantren Sabtu Minggu Bismillah